Pages

Jumat, 19 Februari 2010


Gunung Gede merupakan sebuah gunung yang berada di pulau Jawa, Indonesia. Gunung Gede berada dalam ruang lingkup Taman Nasional Gede Pangarango, yang merupakan salah satu dari lima taman nasional yang pertama kali diumumkan di Indonesia pada tahun 1980. Terletak diantara tiga kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi, dengan ketinggian 1.000 - 3.000 m. dpl, dan berada pada lintang 106°51' - 107°02' BT dan 64°1' - 65°1 LS. Suhu rata-rata di puncak gunung Gede 18°c dan di malam hari suhu puncak berkisar 5°c, dengan curah hujan rata-rata 3.600 mm/tahun. Gerbang utama menuju gunung ini adalah dari Cibodas dan Cipanas.

Beberapa lokasi/obyek yang menarik untuk dikunjungi

* Telaga Biru. Danau kecil berukuran lima hektar (1.575 meter dpl.) terletak 1,5 km dari pintu masuk Cibodas. Danau ini selalu tampak biru diterpa sinar matahari, karena ditutupi oleh ganggang biru.

* Air terjun Cibeureum. Air terjun yang mempunyai ketinggian sekitar 50 meter terletak sekitar 2,8 km dari Cibodas. Di sekitar air terjun tersebut dapat melihat sejenis lumut merah yang endemik di Jawa Barat.

* Air Panas. Terletak sekitar 5,3 km atau 2 jam perjalanan dari Cibodas.

* Kandang Batu dan Kandang Badak. Untuk kegiatan berkemah dan pengamatan tumbuhan/satwa. Berada pada ketinggian 2.220 m. dpl dengan jarak 7,8 km atau 3,5 jam perjalanan dari Cibodas.

* Puncak dan Kawah Gunung Gede. Panorama berupa pemandangan matahari terbenam/terbit, hamparan kota Cianjur-Sukabumi-Bogor terlihat dengan jelas, atraksi geologi yang menarik dan pengamatan tumbuhan khas sekitar kawah. Di puncak ini terdapat tiga kawah yang masih aktif dalam satu kompleks yaitu kawah Lanang, Ratu dan Wadon. Berada pada ketinggian 2.958 m. dpl dengan jarak 9,7 km atau 5 jam perjalanan dari Cibodas.

* Alun-alun Suryakencana. Dataran seluas 50 hektar yang ditutupi hamparan bunga edelweiss. Berada pada ketinggian 2.750 m. dpl dengan jarak 11,8 km atau 6 jam perjalanan dari Cibodas.

Legenda RakyatSejarah dan legenda yang merupakan kepercayaan masyarakat setempat yaitu tentang keberadaan Eyang Suryakencana dan Prabu Siliwangi di Gunung Gede. Masyarakat percaya bahwa roh Eyang Suryakencana dan Prabu Siliwangi akan tetap menjaga Gunung Gede agar tidak meletus. Pada saat tertentu, banyak orang yang masuk ke goa-goa sekitar Gunung Gede untuk semedhi / bertapa maupun melakukan upacara religius.

Rute PencapaianUntuk mencapai lokasi Taman Nasional Gede Pangrango bisa ditempuh melalui rute Jakarta-Bogor-Cibodas dengan waktu sekitar 2,5 jam (± 100 km) menggunakan mobil, atau Bandung-Cipanas-Cibodas dengan waktu 2 jam (± 89 km), dan Bogor-Salabintana dengan waktu 2 jam (52 km).

Sikap Bijak Saat Di Pantai


1.Jangan membuang sampah di pantai atau di laut

Selain mengotori pantai dan laut, juga dapat menyebabkan kematian biota laut. Salah satu contohnya adalah kematian penyu akibat menelan sampah plastik yang dibuang oleh pengunjung pantai. Sampah tersebut tidak dapat dicerna oleh penyu.

2. Tidak membeli awetan satwa laut

seperti penyu, taring ikan duyung dsb. Hal ini dapat menyebabkan kepunahan satwa-satwa tersebut karena terjadi eksploitasi secara berlebihan.

3. Tidak membeli cenderamata dari aneka kerajinan terumbu karang

Melakukan hal tersebut merupakan salah satu dukungan terhadap eksploitasi terumbu karang yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan lingkungan.

4. Tidak menangkap ikan menggunakan bahan peledak/zat kimia

Hal ini dapat mengakibatkan rusaknya terumbu karang. Selain itu, dapat menyebabkan mematikan spesies lain yang bukan target sehingga merusak tatanan biota di laut.

5. Jangan menginjak atau memegang terumbu karang saat menyelam

Hal ini dapat membunuh satwa karang, sehingga pertumbuhan karang bisa terhambat. Dalam satu tahun karang tumbuh hanya beberapa cm, jika terhambat akan semakin sulit karang untuk tumbuh.Terumbu Karang merupakan suatu ekosistem yang tersusun atas berbagai hewan dan tumbuhan dengan warna, bentuk dan ukuran yang bervariasi. Karang sendiri merupakan endapan kapur (CaCO3) yang diproduksi oleh satwa karang dan simbiosis sebagian satwa karang dengan alga (Terangi; Patria, MP.; Sukmara, et al., 2001).
Terumbu karang memiliki banyak fungsi. Salah satu fungsinya adalah sebagai tempat berkembang biak ikan. Selain itu, juga sebagai penghalang dan pemecah gelombang yang melindungi pantai dari erosi dan banjir pantai, sehingga warga sekitar pantai bisa aman dari gangguan gelombang tinggi.
Jika rusak, tentunya terumbu karang tidak dapat menjalankan fungsinya secara optimal sehingga dapat menyebabkan bencana bagi manusia sendiri. Ingat karang yang kita nikmati sekarang ini umurnya telah mencapai ribuan tahun. Jika rusak harus menunggu waktu lama untuk kembali ke kondisi yang baik.

(www.profauna.org)

Jumat, 12 Februari 2010

Cagar Alam Pulau Sempu menyimpan kekayaan hayati sangat tinggi. Di pulau seluas 877 hektar ini sedikitnya menjadi penghuni 85 spesies burung dan 15 mamalia (binatang menyusui). Ini adalah hasil pengamatan ProFauna Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini. Dari 85 jenis burung tersebut, 26 jenis diantaranya termasuk kategori jenis yang dilindungi undang-undang dan 3 jenis terancam punah secara global. Jenis burung yang terancam punah secara global yang ditemukan di Pulau Sempu itu adalah Burung cikalang (Fregeta andrewsi), Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan Tiung Mungkal (Cochoa azurea).

Selain menjadi habitat burung dan mamalia, kawasan perairan di sekitar Pulau Sempu juga menjadi habitat penyu langka seperti penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas). Beberapa bagian dari pantai Pulau Sempu juga menjadi lokasi pendaratan penyu yang telah dilindungi undang-undang tersebut.

Munculnya wacana dari Pemerintah Kotamadya Malang tentang pemindahan LP Lowokwaru ke Cagar Alam Pulau Sempu, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, ini akan menjadi ancaman serius bagi kelestarian penyu dan satwa liar langka lainnya yang hidup di Sempu. Pembangunan fisik dan aktivitas manusia secara berlebihan akan menganggu kehidupan alami dan perkembanganbiakan satwa itu.

ProFauna Indonesia, sebuah organisasi non profit berjaringan internasional yang bergerak dibidang perlindungan satwa liar dan habitatnya, secara tegas menolak wacana menjadikan Pulau Sempu sebagai LP. Status Pulau Sempu adalah cagar alam yang menurut Undang-Undang Nomer 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, suatu tempat ditetapkan sebagai kawasan cagar alam karena tempat tersebut mempunyai satwa, flora atau ekosistem yang khas sehingga perlu dilindungi. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan cagar alam (pasal 19, UU No 5/1990). Kegiatan yang diperbolehkan di cagar alam adalah penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan yang menunjang budi daya.

Pulau Sempu harus tetap dipertahankan statusnya Pulau Sempu harus tetap dipertahankan statusnya sebagai cagar alam. Pemerintah Kotamadya dan Kabupatean Malang hendaknya menghormati hukum yang melindungi Pulau Sempu. Sudah saatnya pemerintah benar-benar memahami dan menerapkan konsep pembangunan berwawasan lingkungan, bukan malah merusak lingkungan.

Mahameru......


“Saya selalu ingat kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol, pamit, sebelum ke Semeru, begitu penggalan catatan harian Gie, Senin, 8 Desember 1969. Seminggu setelah itu, ia bersama Anton Wiyana, A. Rahman, Freddy Lasut, Idhan Lubis, Herman Lantang, Rudy Badil, Aristides Katoppo berangkat ke Gunung Semeru.

Siapa mengira, itulah terakhir kalinya mereka mendaki bersama Gie. Tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulangtahunnya ke 27 Gie dan Idhan Lubis tewas saat turun dari puncak karena menghirup uap beracun. Herman Lantang yang berada di dekat Gie saat kejadian melihat Gie dan Idhan kejang-kejang, berteriak dan mengamuk. Herman sempat mencoba menolong dengan napas buatan, tapi gagal.

Musibah kematian Gie di puncak Semeru sempat membuat teman-temannya bingung mencari alat transportasi untuk membawa jenazah Gie ke Jakarta. Tiba-tiba sebuah pesawat Antonov milik AURI mendarat di Malang. Pesawat itu sedang berpatroli rutin di Laut Selatan Jawa, Begitu mendengar kabar kematian Gie, Menteri Perhubungan saat itu Frans Seda memerintahkan pesawat berbelok ke Malang. “Saat jenasah masuk ke pesawat, seluruh awak kabin memberi penghormatan militer. Mereka kenal Gie!, kata Badil.

Jenasah Gie semula dimakamkan di Menteng Pulo. Namun pada 24 Desember 1969, dia dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang agar dekat dengan kediaman ibunya. Dua tahun kemudian, kuburannya kena gusur proyek pembangunan prasasti. Keluarga dan teman-temannya, memutuskan menumbuk sisa-sisa tulang belulang Gie.

“Serbuknya kami tebar di antara bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawangi di Puncak Pangrango. Di tempat itu Gie biasa merenung seperti patung, kata Rudy Badil.

Jumat, 05 Februari 2010

Mendaki gunung =Menghargai hidup


Sedikit sekali orang yang bisa memahami keadaan seseorang atau keadaan sekitarnya, jika ia tidak terjun langsung atau mengalami apa yang dirasakan seseorang dalam kehidupannya. Pencinta Alam atau biasa disebut PA, itulah yang pertama kali orang katakan saat melihat sek...elompok orang – orang ini. Dengan ransel serat beban, topi rimba, baju lapangan, dan sepatu gunung yang dekil bercampur lumpur, membuat mereka kelihatan gagah. Hanya sebagian saja yang menatap mereka dengan mata berbinar menyiratkan kekaguman, sementara mayoritas lainnya lebih banyak menyumbangkan cibiran, bingung, malah bukan mustahil kata sinis yang keluar dari mulut mereka, sambil berkata dalam hatinya, “Ngapain cape – cape naik Gunung. Nyampe ke puncak, turun lagi…mana di sana dingin lagi, hi…!!!!!!!” Tapi tengoklah ketika mereka memberanikan diri bersatu dengan alam dan dididik oleh alam. Mandiri, rasa percaya diri yang penuh, kuat dan mantap mengalir dalam jiwa mereka. Adrenaline yang normal seketika menjadi naik hanya untuk menjawab golongan mayoritas yang tak henti – hentinya mencibir mereka. Dan begitu segalanya terjadi, tak ada lagi yang bisa berkata bahwa mereka adalah pembual !!!!! Peduli pada alam membuat siapapun akan lebih peduli pada saudaranya, tetangganya, bahkan musuhnya sendiri. Menghargai dan meyakini kebesaran Tuhan, menyayangi sesama dan percaya pada diri sendiri, itulah kunci yang dimiliki oleh orang – orang yang kerap disebut petualang ini. Mendaki gunung bukan berarti menaklukan alam, tapi lebih utama adalah menaklukan diri sendiri dari keegoisan pribadi. Mendaki gunung adalah kebersamaan, persaudaraan, dan saling ketergantungan antar sesama. Dan menjadi salah satu dari mereka bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi pandangan masyarakat yang berpikiran negative terhadap dampak dari kegiatan ini. Apalagi mereka sudah menyinggung soal kematian yang memang tampaknya lebih dekat pada orang – orang yang terjun di alam bebas ini. “Mati muda yang sia – sia.” Begitu komentar mereka saat mendengar atau membaca anak muda yang tewas di gunung. Padahal soal hidup dan mati, di gunung hanyalah satu dari sekian alternative dari suratan takdir. Tidak di gunung pun, kalau mau mati ya matilah…!!! Kalau selamanya kita harus takut pada kematian, mungkin kita tidak akan mengenal Columbus penemu Benua Amerika. Di gunung, di ketinggian kaki berpijak, di sanalah tempat yang paling damai dan abadi. Dekat dengan Tuhan dan keyakinan diri yang kuat. Saat kaki menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Di sanalah pembuktian diri dari suatu pribadi yang egois dan manja, menjadi seorang yang mandiri dan percaya pada kemampuan diri sendiri. Rasa takut, cemas, gusar, gundah, dan homesick memang ada, tapi itu dihadapkan pada kokohnya sebuah gunung yang tak mengenal apa itu rasa yang menghinggapi seorang anak manusia. Gunung itu memang curam, tapi ia lembut. Gunung itu memang terjal, tapi ia ramah dengan membiarkan tubuhnya diinjak – injak. Ada banyak luka di tangan, ada kelelahan di kaki, ada rasa haus yang menggayut di kerongkongan, ada tanjakan yang seperti tak ada habis – habisnya. Namun semuanya itu menjadi tak sepadan dan tak ada artinya sama sekali saat kaki menginjak ketinggian. Puncak gunung menjadi puncak dari segala puncak. Puncak rasa cemas, puncak kelelahan, dan puncak rasa haus, tapi kemudian semua rasa itu lenyap bersama tirisnya angin pegunungan. Lukisan kehidupan pagi Sang Maha Pencipta di puncak gunung tidak bisa diucapkan oleh kata – kata. Semuanya cuma tertoreh dalam jiwa, dalam hati. Usai menikmati sebuah perjuangan untuk mengalahkan diri sendiri sekaligus menumbuhkan percaya diri, rasanya sedikit mengangkat dagu masih sah – sah saja. Hanya jangan terus – terusan mengangkat dagu, karena walau bagaimanapun, gunung itu masih tetap kokoh di tempatnya. Tetap menjadi paku bumi, bersahaja, dan gagah. Sementara manusia akkembali ke urat akar di mana dia hidup. Ya, menghargai hidup adalah salah satu hasil yang diperoleh dalam mendaki gunung. Betapa hidup itu mahal. Betapa hidup itu ternyata terdiri dari berbagai pilihan, di mana kita harus mampu memilihnya meski dalam kondisi terdesak. Satu kali mendaki, satu kali pula kita menghargai hidup. Dua kali mendaki, dua kali kita mampu menghargai hidup. Tiga kali, empat kali, ratusan bahkan ribuan kali kita mendaki, maka sejumlah itu pula kita menghargai hidup. Hanya seorang yang bergelut dengan alamlah yang mengerti dan paham, bagaimana rasanya mengendalikan diri dalam ketertekanan mental dan fisik, juga bagaimana alam berubah menjadi seorang bunda yang tidak henti – hentinya memberikan rasa kasih sayangnya. Kalau golongan mayoritas masih terus saja berpendapat minor soal kegiatan mereka, maka biarkan sajalah. Karena siapapun orangnya yang berpendapat bahwa kegiatan ini hanya mengantarkan nyawa saja, bahwa kegiatan ini hanya sia – sia belaka, tidak ada yang menaifkan hal ini. Mereka cuma tak paham bahwa ada satu cara di mana mereka tidak bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh para petualang ini, yaitu kemenangan saat kaki tiba pada ketinggian.